Anak Angkat
dan Statusnya Dalam Islam
oleh: Anggie andalika
Mengadopsi anak adalah fenomena yang
sering kita jumpai di masyarakat kita, entah karena orang tersebut tidak
memiliki keturunan, atau karena ingin menolong orang lain, ataupun karena
sebab-sebab yang lain.
Akan tetapi, karena ketidaktahuan
banyak dari kaum muslimin tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan ‘anak
angkat’, maka masalah yang terjadi dalam hal ini cukup banyak dan
memprihatinkan.
Misalnya: menisbahkan anak angkat
tersebut kepada orang tua angkatnya, menyamakannya dengan anak kandung sehinga
tidak memperdulikan batas-batas mahram, menganggapnya berhak
mendapatkan warisan seperti anak kandung, dan pelanggaran-pelanggaran agama
lainnya.
Padahal, syariat Islam yang agung
telah menjelaskan dengan lengkap dan gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan
masalah anak angkat ini, sehingga jika kaum muslimin mau mempelajari petunjuk
Allah Ta’ala dalam agama mereka maka mestinya mereka tidak
akan terjerumus dalam kesalahan-kesalahan tersebut di atas.
Tradisi sejak jaman Jahiliyah
Kebiasan mengadopsi anak adalah
tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan
Islam1. Bahkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
melakukannya, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu sebelum beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam diutus Allah Ta’ala sebagai nabi,
kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang perbuatan
tersebut dalam firman-Nya,
{وَمَا
جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ
وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}
“Dan Allah tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).
Imam Ibnu Katsir berkata,
“Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin
Haritsah radhiyallahu ‘anhu, bekas budak Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak, sampai-sampai dia
dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam), maka Allah Ta’ala ingin memutuskan
pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain ayah kandungnya) dalam
ayat ini, sebagaimana juga firman-Nya di pertengahan surah al-Ahzaab,
{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ
مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ
اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}
“Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)”2.
Status anak angkat dalam Islam
Firman Allah Ta’ala di
atas menghapuskan kebolehan adopsi anak yang dilakukan di jaman Jahiliyah dan
awal Islam, maka status anak angkat dalam Islam berbeda dengan anak kandung
dalam semua ketentuan dan hukumnya.
Dalam ayat tersebut di atas
Allah Ta’ala mengisyaratkan makna ini:
“Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja”, artinya: perbuatanmu mengangkat mereka sebagai
anak (hanyalah) ucapan kalian (semata-mata) dan (sama sekali) tidak mengandung
konsekwensi bahwa dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung), karena dia
diciptakan dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin
anak itu memiliki dua orang ayah3.
Adapun hukum-hukum yang ditetapkan
dalam syariat Islam sehubungan dengan anak angkat yang berbeda dengan kebiasaan
di jaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:
1. Larangan
menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
{ادْعُوهُمْ
لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا
أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا}
“Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang
lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan
tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada
dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat)
ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang menghapuskan perkara yang
diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang
bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan
untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya (ayah kandung),
dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”4.
2. Anak
angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, berbeda
dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak
kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal
dunia5.
3. Anak
angkat bukanlah mahram6, sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak
kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat
tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram,
berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Salim maula
(bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tinggal bersama
Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak angkat), maka
(ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi anak) datanglah Sahlah
bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu, istri Abu Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
dia berkata: Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah
paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk
rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu
Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia agar engkau
menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri
Abu Hudzaifah”7.8
4. Diperbolehkannya
bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan
kebiasaan di jaman Jahiliyah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ
اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ
وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا
زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا}
“Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu
(juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah
kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya (menceraikannya). Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”
(QS al-Ahzaab: 37).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di
berkata: “Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala ingin
menetapkan ketentuan syriat yang umum bagi semua kaum mukminin, (yaitu) bahwa
anak-anak angkat hukumnya berbeda dengan anak-anak yang sebenarnya (kandung)
dari semua segi, dan bahwa (bekas) istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak
angkat mereka…Dan jika Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan
menjadikan suatu sebab bagi (terjadinya) hal tersebut, (yaitu kisah) Zaid bin
Haritsah yang dipanggil “Zaid bin Muhammad” (di jaman Jahiliyah), karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengangkatnya
sebagai anak, sehingga dia dinisbatkan kepada (nama) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sampai turunnya firman Allah:
“Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka” (QS
al-Ahzaab: 5).
Maka setelah itu dia dipanggil “Zaid
bin Haritsah”.
Istri Zaid bin Haritsah adalah
Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha, putri bibi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Telah terlintas dalam hati Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa jika Zaid menceraikannya maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menikahinya. Kemudian Allah menakdirkan
terjadinya sesuatu antara Zaid dengan istrinya tersebut yang membuat Zaid
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
meminta izin kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menceraikan istrinya…(Kemudian setelah itu Allah Ta’ala menikahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu
Jahsy radhiyallahu ‘anha sebagaimana ayat tersebut di atas)”9.
Memanggil ‘anak atau nak’ kepada
orang lain untuk memuliakan dan kasih sayang
Hal ini diperbolehkan dan sama
sekali tidak termasuk perkara yang dilarang dalam ayat di atas. Karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya,
sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih, di antaranya:
- Dari Ibnu Abbas radhiayallahu
‘anhuma dia berkata: Ketika malam (menginap) di Muzdalifah, kami
anak-anak kecil keturunan Abdul Muththalib datang kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (dengan menunggangi) keledai, lalu beliau menepuk
paha kami dan bersabda: “Wahai anak-anak kecilku, janganlah kalian
melempar/melontar Jamrah ‘aqabah (pada hari tanggal 10
Dzulhijjah) sampai matahari terbit”10.
- Dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berkata kepada: “Wahai anakku”11.12
Oleh karena itu, imam an-Nawawi
dalam kitab “shahih Muslim” (3/1692) mencantumkan hadits ini dalam bab:
Bolehnya seseorang berkata kepada selain anaknya: “Wahai anakku”, dan
dianjurkannya hal tersebut untuk menunjukkan kasih sayang.
Penutup
Demikianlah penjelasan singkat
tentang hukum mengadopsi anak dalam Islam. Meskipun jelas ini bukan berarti agama
Islam melarang umatnya untuk berbuat baik dan menolong anak yatim dan anak
terlantar yang membutuhkan pertolongan dan kasih sayang.
Sama sekali tidak! Yang dilarang
dalam Islam adalah sikap berlebihan terhadap anak angkat seperti yang dilakukan
oleh orang-orang di jaman Jahiliyah, sebagaimana penjelasan di atas.
Agama Islam sangat menganjurkan
perbuatan menolong anak yatim dan anak terlantar yang tidak mampu, dengan
membiayai hidup, mengasuh dan mendidik mereka dengan pendidikan Islam yang
benar. Bahkan perbuatan ini termasuk amal shaleh yang bernilai pahala besar di
sisi Allah Ta’ala, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,“Aku dan orang yang menyantuni anak yatim
(kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya13.
Artinya: orang yang menyantuni anak
yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan
kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 14.
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan
ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan
sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia melimpahkan taufik dan kemudahan
dari-Nya kepada kita untuk mencapai keridhaan-Nya dengan melaksanakan semua
kebaikan dalam agama-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan
doa.
وصلى الله
وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Kota Kendari, 18 Rabi’ul awal 1432 H
—
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim
al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
—
1 Lihat
“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 658) dan “Aisarut tafaasiir” (3/289).
2 Kitab
“Tafsir Ibnu Katsir” (3/615).
3 Kitab
“Tafsir Ibnu Katsir” (3/615).
4 Ibid.
5 Sebagaimana
dalam HSR al-Bukhari (no. 3778), lihat juga kitab “Tafsir al-Qurthubi”
(14/119).
6 Mahram
adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang mubah
(diperbolehkan dalam agama). Lihat kitab “Fathul Baari” (4/77).
7 HSR
Muslim (no. 1453), hadits yang semakna juga terdapat dalam “Shahih al-Bukhari”
(no. 3778).
8 Lihat
kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/615).
9 Kitab
“Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 665).
10 HR
Abu Dawud (no. 1940), Ibnu Majah (no. 3025) dan Ahmad (1/234), dinyatakan
shahih oleh syaikh al-Albani.
11 HSR
Muslim (no.2151).
12 Lihat
kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/615).
13 HSR
al-Bukhari (no. 4998 dan 5659).
14 Lihat
kitab “’Aunul Ma’buud” (14/41) dan “Tuhfatul ahwadzi” (6/39).